Dalam masyarakat kita, tak jarang ditemukan sejumlah tradisi yang diwariskan turun-temurun tanpa dasar syar’i yang kuat. Sebagian tradisi bahkan bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan dapat mempengaruhi pola pikir serta pembentukan karakter anak secara negatif. Oleh karena itu, penting bagi para orang tua untuk bijak dalam menyikapi tradisi dan memilah mana yang sesuai dengan syariat dan mana yang harus dihindari dalam pendidikan anak.
Tradisi Bukanlah Sumber Hukum
Islam adalah agama yang sempurna dan tidak membutuhkan tambahan dari kebiasaan atau budaya yang tidak memiliki pijakan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Bahkan, menjadikan tradisi sebagai tolok ukur kebenaran adalah kesalahan besar. Allah ﷻ berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلْ نَتَّبِعُ مَآ أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۚ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab: ‘(Tidak), kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ Apakah mereka akan (tetap) mengikuti nenek moyangnya walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu pun dan tidak mendapat petunjuk?” (Al-Baqarah: 170)
Ayat ini menjelaskan bahwa menjadikan tradisi nenek moyang sebagai standar tanpa mengukur dengan wahyu merupakan bentuk kesesatan.
Tradisi yang Merusak Pendidikan Anak
1. Pembiaran dalam Pergaulan
Beberapa tradisi membiarkan anak-anak bercampur bebas tanpa batasan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini dianggap sebagai hal yang lumrah atau “sudah biasa,” padahal dapat menimbulkan syahwat dan merusak akhlak.
2. Tradisi Mistis dan Takhayul
Seperti memakaikan jimat, mempercayai hari-hari sial, atau membacakan mantra-mantra warisan nenek moyang. Padahal, Rasulullah ﷺ bersabda:
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ أَوْ تُطُيِّرَ لَهُ، أَوْ تَكَهَّنَ أَوْ تُكُهِّنَ لَهُ، أَوْ سَحَرَ أَوْ سُحِرَ لَهُ
Dari ‘Imran bin Hushain رضي الله عنه, Rasulullah ﷺ bersabda: “Bukan golongan kami orang yang melakukan tathayyur (percaya sial), atau dimintakan tathayyur untuknya, atau berdukun, atau dimintakan untuknya, atau menyihir atau dimintakan sihir untuknya” (HR. Thabrani dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 5435)
3. Tradisi yang Menumbuhkan Kesombongan
Beberapa keluarga mendidik anak dengan pola pikir kasta atau kebanggaan terhadap garis keturunan, sehingga memandang rendah orang lain. Hal ini bertentangan dengan Islam yang mengajarkan bahwa kemuliaan hanyalah karena takwa, sebagaimana firman Allah ﷻ:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa” (Al-Hujurat: 13)
Solusi: Menjadikan Wahyu Sebagai Kompas Utama
1. Kembalikan Pendidikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah
Orang tua harus menjadikan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah sebagai standar dalam mendidik anak. Tidak semua yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat harus diikuti.
2. Ajarkan Anak untuk Kritis terhadap Tradisi
Tanamkan nilai-nilai Islam sejak kecil sehingga anak mampu membedakan mana tradisi yang sesuai dengan Islam dan mana yang menyimpang.
3. Jadilah Teladan dalam Menolak Tradisi Buruk
Orang tua harus berani memutus mata rantai tradisi yang bertentangan dengan Islam. Ketegasan ini menjadi contoh kuat bagi anak.
Pendidikan Islami: Meretas Jalan Masa Depan
Islam datang bukan untuk menghapus seluruh tradisi, melainkan untuk memperbaiki dan meluruskannya. Tradisi yang bertentangan dengan tauhid, adab, dan akhlak Islami harus ditinggalkan, meskipun itu sudah diwariskan berabad-abad. Pendidikan anak yang benar adalah pendidikan yang berani melawan kebiasaan salah, demi membentuk generasi yang bertauhid, berilmu, dan berakhlak mulia.
Rasulullah ﷺ bersabda:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah رضي الله عنه)
Penulis : Ustadz Kurnia Lirahmat, B.A., Lc
![]() |
|


